Senin, 31 Januari 2011

Andai Aku Bisa Menghilang

Karya: NR

Ketika hujan turun deras, tak heran aku bisa mengantuk. Aku berbaring di atas kasur yang nyaman sekali&kupandangi langit-langit rumah. “Hoah…” tak terasa kupandangi itu selama kurang lebih lima menit.

Tiba-tiba petir menyambar dengan suaranya yang keras. Setelah itu gelaplah pandanganku. Aku takut dengan keadaan tersebut. Tak lama kemudian, cahaya datang kembali. Cahayanya berasal dari dari sebelah kamar tidurku. Aku melangkah perlahan menuju cahaya itu, dan ku masuk ke dalamnya. Tapi…..sungguh aneh, gumamku. Melihat aku telah berada di tengah-tengah bangunan kokoh nan mewah.

Disana, orang-orang duduk berjajar rapih dengan wajah kusut. Seorang Bapak tua memanggilku, mengajakku duduk diantara dua golongan. Golongan tersebut menatapku dengan sinis. Yang pertama, dari keluarga ningrat dengan rautnya yang arogam. Dan yang kedua, dari sebuah organisasi. Dari golongan yang kedua terlihat marah yang amat sangat. Saat ku duduk dan berbicara cukup bijaksana, mereka semua berubah memasang muka manis.

Berbagai pertanyaan pedas tertuju pada masing-masing golongan. Namun tidak ada yang mengalah, mereka bersikukuh akan opininya sendiri. Aku bingung, aku diam. Ternyata aku seorang hakim disana. Permasalahan mereka adalah korupsi. Aku tidak tahu mana yang salah karena bukti kasus hanya sedikit. Ini sangat melelahkan. Sampai-sampai bajuku lusuh karena tanganku tak berhenti bergerak menarik bajuku karena was-was.

Ketika perasaanku semakin tidak karu-karuan, jam tanganku berkedip-kedip. Aku keluar dari sebuah ruangan, pengadilan. Aku membetulkan posisi jam tanganku. Saat ku tekan , tiba-tiba tubuhku tak terlihat, lalu menghilang. Wah aneh sekali.

Keadaan itu ku manfaatkan untuk mengungkap kebenaran. Aku lari menuju tempat perkara dimana uang korupsi, mereka pergunakan. Ternyata bukti yang kutemukan menunjukkan bahwa kedua belah pihak tak bersalah. Uang itu tersimpan rapi di loker yang belum terdata. Saat ku berlari kembali ke ruang siding, aku tersandung batu. Seekor kucing melangkahiku. “Gudubrak! Miaw, miaw”.

Aduh, badanku sakit karena terjatuh dan menindih kucingku yang berada dibawah tempat tidurku. Aku sadar ternyata aku pingsan ketika suara petir tadi menyambar, dan aku bermimpi. Ah sangat disayangkan. Mimpiku tadi belum kutuntaskan perkaranya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar